Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berhasil melibas dolar Amerika Serikat (AS) selama tiga hari beruntun, meskipun Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuannya. Apa rahasianya?
Penguatan rupiah telah terjadi sejak penutupan perdagangan Jumat (5/8/2022), rupiah berakhir terapresiasi 0,27% terhadap dolar AS ke Rp 14.890/US$. Kemudian, rupiah kembali melanjutkan relinya hingga pada penutupan perdagangan Selasa (9/8/2022) dengan menguat 0,1% ke Rp 14.850/US$. Dengan begitu, mata uang Nusantara berhasil melibas dolar AS selama tiga hari beruntun.
Namun, pada perdagangan hari ini rupiah terkoreksi 0,17% terhadap dolar AS ke Rp 14.875/US$ pada pukul 12:00 WIB. Meski terkoreksi, tapi rupiah stabil diperdagangkan di level Rp 14.800/US$.
Diketahui, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20-21 Juli 2022 telah memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reserve Repo Rate (BI7DRR) di 3,5% dan telah bertahan selama 18 bulan sejak Februari 2021. BI juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Dalam konferensi pers RDG pada Juli lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa keputusan tersebut dilakukan guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dalam negeri, serta inflasi inti yang masih terjaga karena berada di bawah 3%.
Padahal, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) telah agresif menaikkan suku bunga acuannya. Sejak Desember 2021, The Fed telah menaikkan suku bunganya sebanyak empat kali dan mengirim tingkat suku bunga The Fed berada di 2,25%-2,5%. Sedangkan, suku bunga acuan BI di 3,5%, sehingga selisih suku bunga The Fed dan BI kian menipis.
Namun, beberapa waktu ini, rupiah kembali menunjukkan taringnya dan berhasil menguat meskipun BI menahan suku bunga acuannya hingga saat ini.
Lantas, apa resep penguatan rupiah?
Sejatinya, penguatan nilai tukar rupiah ditopang oleh beberapa data ekonomi yang solid dari dalam negeri. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2022 mencapai 5,44% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Sedangkan dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq), ekonomi tumbuh 3,72%.
Kedua, Indonesia mendapatkan 'durian runtuh' dari peningkatan harga komoditas, sehingga menikmati surplus neraca perdagangan US$ 15,55 miliar pada kuartal II-2022. Naik 148,01% yoy.
Ketiga, angka inflasi Indonesia masih dinilai cukup aman. Angka inflasi Indonesia per Juli 2022 berada di 4,94% secara tahunan, naik ketimbang bulan sebelumnya di 4,35% yoy. Sementara, angka inflasi inti berada di 2,86% yoy.
Inflasi Indonesia dinilai moderate dibandingkan dengan negara peers seperti Thailand (7,7%), India (7,0%), dan Filipina (6,1%). Angka inflasi inti masih berada di bawah 3%.
Keempat, angka penjualan ritel Indonesia per Juni 2022 yang meningkat, di mana Indeks Penjualan Riil (IPR) Juni 2022 tercatat sebesar 206,6 atau tumbuh 4,1% secara tahunan (yoy). Meskipun, secara bulanan, penjualan eceran turun -11,8% (mtm) pada Juni 2022.
Dalam kurun 5 tahun terakhir, kontribusi sektor ritel terhadap PDB sudah lebih dari 10% dan konsumsi masyarakat menyumbang sebesar 53% hingga 56%.
Kelima, cadangan devisa yang masih relatif tinggi. BI mengumumkan pada pekan lalu bahwa cadangan devisa pada Juli 2022 berada di US$ 132,2 miliar.
Meskipun berkurang US$ 4,2 miliar dibandingkan bulan sebelumnya, tapi masih dinilai aman karena setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Selain itu, dari faktor eksternal, indeks dolar AS menunjukkan tren pelemahan di pasar spot sejak Jumat (5/8/2022). Pada perdagangan akhir pekan lalu, Dollar Index diperdagangkan di posisi 106,62 dan kian melemah hingga berakhir di 106,33 pada perdagangan Selasa (9/8/2022).
Terkoreksinya dolar AS di pasar spot, tentunya dapat membuka jalan untuk rupiah menguat. Ditambah, dengan bantalan ekonomi yang kuat, kian menopang laju Mata Uang Tanah Air meskipun BI mempertahankan suku bunga acuannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA